Rabu, 09 September 2009

Pembajakan Selat Malaka dari Perspektif Teori Hubungan Internasional

Dalam disiplin ilmu Hubungan Internasional, terdapat beberapa teori yang digunakan sebagai pisau analisis untuk melihat suatu kasus atau konflik yang terjadi di suatu negara dengan harapan kita dapat memberikan argumen yang cukup valid untuk mencapai tujuan dalam upaya penyelesaian kasus tersebut. Penulis ingin memaparkan mengenai kasus pembajakan yang terjadi di selat Malaka dan mencoba menjelaskan dari perspektif teori Hubungan Internasional.
Pada pertengahan tahun 1990, sesaat sebelum terorisme menjadi agenda utama dari setiap negara-negara di dunia khususnya asia, isu pembajakan kapal atau sea robbery sudah menjadi ancaman bagi pembangunan dan keamanan kawasan. Hal ini terjadi dikarenakan dengan adanya pembajakan tersebut membuat lalu lintas perdagangan dunia yang sebagian besar masih menggunakan transportasi laut untuk memobilisasi barang-barang tersebut akan terhambat dan merugikan baik dari segi kestabilan ekonomi ataupun kestabilan politik suatu negara.
Dari keseluruhan 250 selat yang ada di dunia, Selat Malaka dikenal sebagai satu di antara 13 selat paling strategis dan bernilai komersial yang sangat tinggi di dunia.
Selat Malaka yang panjangnya 500 mil merupakan salah satu jalur pelayaran terpenting di dunia, sama pentingnya seperti Terusan Suez atau Terusan Panama. Selat Malaka membentuk jalur pelayaran terusan antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik serta menghubungkan tiga dari negara-negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia: India, Indonesia dan China. Sebanyak 50.000 kapal melintasi Selat Malaka setiap tahunnya, mengangkut antara seperlima dan seperempat perdagangan laut dunia. Sebanyak setengah dari minyak yang diangkut oleh kapal tanker melintasi selat ini; pada 2003, jumlah itu diperkirakan mencapai 11 juta barel minyak per hari, suatu jumlah yang dipastikan akan meningkat mengingat besarnya permintaan dari China . Oleh karena lebar Selat Malaka hanya 1,5 mil laut pada titik tersempit, yaitu Terusan Phillips di Selat Singapura, ia merupakan salah satu dari kemacetan lalu lintas terpenting di dunia.
Laporan mengenai aksi pembajakan kapal di dunia telah berangsur meningkat selama beberapa tahun terakhir ini. Pada tahun 2003 terdapat 445 kasus pembajakan di seluruh dunia dimana Indonesia mencatat 121 aksi pembajakan yang berarti lebih dari satu per empat total pembajakan yang terjadi di dunia dan disusul oleh Bangladesh yang mencapai angka 58 aksi pembajakan . Di selat Malaka sendiri, terdapat 28 kasus pembajakan yang terjadi tahun 2003. Selat Malaka merupakan daerah yang paling berbahaya dan paling di incar oleh para perompak karena daerah ini merupakan daerah pelayaran internasional dimana kapal-kapal yang melewati selat ini membawa banyak barang-barang berharga yang dapat dibajak oleh teroris dan dengan mudah dijual kembali dengan keuntungan yang besar di pasar gelap.
Selat Malaka adalah salah satu dari koridor maritim paling sibuk di dunia dengan sekitar 50.000 kapal kargo dan kapal tangki melewati perairan itu setiap tahun. Peningkatan pembajakan yang terjadi di selat malaka merupakan hasil dari jatuhnya perekonomian dan situasi politik di Indonesia pasca reformasi tahun 1998. Kemiskinan dan pengangguran membuat para perompak tergiur dengan hasil yang didapat dari pembajakan tersebut. Selain itu adanya aparat keamanan yang korup membuat para pembajak leluasa mendapat informasi mengenai jalur-jalur dan data barang yang dibawa oleh kapal kargo .
Semua faktor tersebut menyebabkan kawasan itu menjadi sebuah target pembajakan dan kemungkinan target terorisme. Pembajakan di Selat Malaka menjadi masalah yang mendalam akhir-akhir ini ditambah lagi dengan adanya keinginan intervensi dari Amerika yaitu AS mengaku sangat khawatir dan prihatin atas maraknya pembajakan dan perompakan yang terjadi di perairan tersebut. Karena itu bisa membuka peluang terjadinya serangan-serangan teroris khususnya terhadap kapal-kapal perdagangan dan kepentingan Amerika
apalagi, posisi Selat Malaka sangat strategis dan termasuk selat yang tersibuk di dunia.

Dalam kasus pembajakan di Selat Malaka, yang menjadi faktor utama pemicunya adalah ekonomi dimana Indonesia terpuruk dengan adanya krisis moneter yang mengakibatkan melonjaknya angka kemiskinan dan pengangguran sehingga banyak dari masyarakat Indonesia yang mengambil jalan pintas dengan cara ikut dalam sindikat-sindikat perompak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang kian terpuruk. Selain faktor pendukung lain adalah dari internal pemerintah Indonesia sendiri yang kurang aktif dalam menanggapi permasalahan tersebut. Hal inipun didasari dari lemahnya kekuatan angkatan laut dan dukungan politik untuk menyelesaikan masalah ini.
Angkatan laut Indonesia tergolong miskin dimana armada-armadanya tidak didukung oleh fasilitas persenjataan yang canggih dan lengkap sehingga tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk memerangi perompak yang berkeliaran di teritori Indonesia khususnya Selat Malaka. Pemerintah indonesia mempunyai program untuk membentuk penjaga perbatasan laut tetapi tidak mempunyai dana untuk itu dan juga angkatan laut mengakui bahwa armada-armadanya tidak memenuhi standar untuk mengatasi permasalahan ini.
Dari permasalah ini, dapat dilihat bahwa aktor-aktor yang bermain di tingkat pemerintah adalah negara pantai itu sendiri yaitu Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Sedangkan untuk Internasionalnya terdapat Amerika dimana beberapa waktu yang lalu Amerika ingin mengintervensi dengan cara membuat pangkalan laut di Selat Malaka yang disetujui oleh Singapura tetapi ditolak Indonesia berkenaan dengan permasalahan kedaulatan yang di intervensi oleh Amerika itu sendiri. Dari segi organisasinya ada ASEAN yang dapat dilihat dengan keterlibatannya melalui forum-forum seperti ASEAN Regional Forum yang secara spesifik membahas mengenai keamanan kawasan dan didalamnya terdapat agenda mengenai penyelesaian masalah kejahatan maritim. Terakhir adalah aktor dari perompak itu sendiri yang dapat diidentifikasikan sebagai warga negara Indonesia yang terlibat sindikat kejahatan maritim dimana disinyalir berasal dari Nangroe Aceh Darussalam karena gagalnya negosiasi damai dengan Aceh pada tahun 2003 yang berujung pada operasi militer. Karena hal ini, dari pihak GAM pun membutuhkan dukungan finansial dengan cara perampokan tersebut.
Berbagai macam upaya telah dilakukan baik dari pemerintah negara pantai (Indonesia, Malaysia, dan Singapura) atau dari organisasi dan dunia internasional. Dari pemerintah Indonesia sendiri telah melakukan kerjasama bilateral seperti dengan singapura dimana Indonesia pada tahun 1992 melakukan kerjasama komunikasi langsung antara angkatan lautnya untuk menjaga perbatasan negaranya. Kemudian beberapa prestasi operasi yang telah dicapai antara lain penggagalan pembajakan MT Selayang pada tahun 2001, yang dibajak saat tolak dari Pelabuhan Port Dickson di Malaysia. Berkat kerja sama yang baik antara aparat keamanan laut dari Malaysia (TLDM, Marpol, IMB), Singapura (Coscom, RSN), serta dari Indonesia (Guskamla Armabar dan Armatim), akhirnya MT Selayang dapat dilacak dan disergap di Selat Makassar oleh aparat Kamla Lanal Balikpapan .
Dari organisasi internasional kita dapat melihat ASEAN dalam Asean Regional Forum dimana ARF dan dari dunia internasional kita dapat melihat Amerika yang ingin membuat pangkalan militer di selat malaka untuk mengamankan kapal-kapal cargo yang melintasi daerah itu dan juga Australia mengungkapkan minatnya untuk membantu negara-negara Asia Tenggara melakukan patroli udara di Selat Malaka, jalur laut tersibuk di Asia. Pemimpin Angkatan Laut Australia Russ Shalders menyampaikan tawaran itu ketika Australia, Selandia Baru, Inggris, Malaysia dan Singapura sedang latihan perang tahunan pada September 2005 di Laut Cina Selatan dan di semenanjung Malaysia.
Kita juga perlu mendalami karakter dan hakikat perompak di Selat Malaka, yang berdasarkan penyelidikan di lapangan diketahui bahwa motivasi untuk merompak lebih didasari oleh faktor ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sangat berbeda dengan terorisme yang diperangi oleh AS, yaitu kelompok radikal yang berbasis ideologi. Karenanya, perlu dipertanyakan lagi bila masih ada kekhawatiran AS atas kerawanan di Selat Malaka sehingga perlu mengirim kekuatan militernya. Kehadiran militer asing justru berpotensi menimbulkan masalah baru, berupa munculnya penolakan dari kelompok yang menentang kehadiran kekuatan militer asing di Selat Malaka.
Pembajakan yang terjadi di selat malaka dapat dikaitkan dengan kenyataan bahwa pemerintah telah gagal dalam memenuhi kebutuhan dasar kemanusiaan sehingga terjadi kemiskinan dan pengangguran yang akhirnya menyebabkan konflik tersebut timbul. Sedangkan, karakteristik dari pemerintahan itu sendiri yang pada saat itu (1998) bersifat otoriter dan mengabaikan aspirasi dari akar rumput. Hal ini menyebabkan hak-hak sipil dan politik dari etnis aceh terabaikan dan mereka memendam rasa tidak puas dan frustasi yang mendalam.
Kelompok pra-kondisi yang berkaitan dengan “International Linkages” yaitu sistem ketergantungan yang terjadi antara suatu negara dengan sistem ekonomi global dimana pemerintah mengeluarkan kebijakan yang lebih memihak pada kekuatan modal asing daripada kepentingan penduduk lokal. Hal ini menjadi salah satu faktor yang memicu masyarakat untuk beralih ke sindikat kejahatan maritim dilandaskan adanya rasa sakit hati terhadap pemerintah pusat yang mengabaikan eksistensi mereka.

Kamis, 28 Mei 2009

Regionalisme Asia Tenggara dan Kontribusi ARF menanggulangi isu Non-Tradisional

PENDAHULUAN

Seperti yang kita ketahui bahwa ASEAN adalah sebuah bentuk kerjasama regional yang terletak di Asia tenggara, pada awalnya ASEAN ini di buat oleh 5 negara di Asia tenggara yaitu Indonesia, Malaysia, Singapore, Thailand Dan Vietnam. Awal mula di bentuknya ASEAN ini adalah untuk meningkatkan kerjasama diberbagai bidang khusunya kerjasama di bidang ekonomi.

Seiring berjalannya waktu ASEAN mulai kehilangan fungsinya sebagai bentuk kerjasama regional yang bertujuan meningkatkan perekonomian anggotanya, awalnya adalah ketika asia tenggara terkena krismon atau sering kita sebut dengan krisis moneter, disitulah awal kejatuhan dari ASEAN dmn wadah tersebut tidak dapat berbuat banyak terhadapa anggotanya dan anggota yang lain lebih memfokuskan untuk memperbaiki perekonomian negara masing dari pada bekerja sama untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Bukan saja ASEAN gagal meningkatkan perekonomian di kawasan tersebut ASEAN juga di nilai gagal dalam membantu menyelesaikan masalah di wilayah tersebut seperti konflik antar negara atau konflik di dalam negara, bukan saja conflik namun ASEAN juga gagal dalam mengatasi permasalahan lain seperti Terrorism dan Transnational Crime, adapun salah satu penyebab dimana ASEAN tidak dapat maju adalah tidak adanya landasan hukum yang jelas dalam ASEAN itu sendiri dan Prinsip Non Interfensi antar negara anggota.

Namun Pada Setelah banyaknya Permasalahan di Asia Tenggara Ahirnya ASEAN mulai kembali bangkit dengan cara menandatangani ASEAN Charter yang sudah di ratifikasi walaupun dengan di tandatanganin ASEAN Charter belum tentu merubah keadaan di daerah tersebut namun kejelasan hukum di wilayah terbut mulai jelas yang pada ahirnya setiap anggota harus menghormati aturan tersebut, adapun beberapa hal yang akan ditandatangani juga untuk meningkatkan kualitas dari pada ASEAN adalah Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN, Deklarasi ASEAN tentang pembangun yang berkelanjutan (environmental sustainability ) dan deklarasi ASEAN tentang Kerangka kerja PBB.

Seiring dengan perkembangannya, ASEAN yang awal mulanya merupakan wadah untuk kerjasama dalam bidang sosial, ekonomi dan kebudayaan pada khususnya mulai meningkatkan dalam sektor-sektor lain seperti kerjasama dibidang politk, pertahanan, dan keamanan. Salah satu bentuknya adalah dengan diadakan konsultasi-konsultasi antar negara anggota, baik secara bilateral maupun secara tidak resmi antara negara anggota bersama-sama. Bahkan sebenarnya harus diingat bahwa keputusan bersama untuk mendirikan ASEAN ini sendiri telah merupakan suatu keputusan politik negara yang bersangkutan.

Begitu pula telah dilaksanakan kerjasama dalam bidang pertahanan dan keamanan, meskipun atas dasar bilateral, antar sesama negara anggota seperti antara Malaysia dan Indonesia dan Malaysia dan Thailang, dalam masalah keamanan perbatasan. Begitu juga kerjasama yang mengambil bentuk latihan-latihan bersama dan dalam pertukaran intelijen maupun pendidikan militer.

Dapat dikatakan bahwa salah satu penyebab mengapa hingga saat ini belum terdapat perkembangan yang signifikan terjadinya kerjasama dalam bidang poltik, pertahanan dan keamanan dalam rangka ASEAN adalah karena adanya perbedaan-perbedaan yang penting dalam pandangan politik antara negara-negara anggota ASEAN yang mempengaruhi pandangan masing-masing dalam masalah pertahanan dan keamanan. Misalnya Indonesia yang sejak semula menganut prinsip poltik luar negeri bebas aktif dan non blok, oleh karena itu Indonesia tidak terikat dalam ikatan-ikatan militer dengan negara lain. Sebaliknya negara anggota ASEAN lainnya telah mengikatkan diri dalam sesuatu ikatan militer atau pakta militer yang didukung oleh negara besar atau mempunyai basis-basis militer asing di negara besar.

Dengan kata lain anggota ASEAN selama ini mempunyai persepsi yang berbeda-beda tentang ancaman terhadap keamanan masing-masing atau terhadap keamanan wilayah Asia Tenggara ini secara keseluruhan. Akan tetapi sebaliknya perlu dikemukakan bahwa meskipun perbedaan-perbedaan seperti itu ditambah dengan perbedaan-perbedaan dalam sistem politik yang ada, semua anggota ASEAN adalah negara-negara non komunis. Atas dasar ini sebenarnya suatu kerjasama dalam bidang politik, keamanan dan pertahanan dalam rangka ASEAN dapat dikembangkan. Masalahnya adalah apakah semua anggota negara-negara anggota ASEAN itu mempunyai persepsi yang sama tentang ancaman terhadap keamanan mereka baik masing-masing maupun secara keseluruhan di wilayah Asia Tenggara ini.

Atas dasar asumsi diatas, negara-negara anggota ASEAN mulai mencari solusi untuk menyelesaikan berbagai macam persoalan baru khususnya di bidang pertahanan dan keamanan. Seiring berjalannya waktu, akhirnya negara-negara anggota ASEAN bekerja sama dalam bidang keamanan yang diimplementasikan dengan didirikannya ARF ( ASEAN REGIONAL FORUM ) sebagai suatu wadah untuk menyelesaikan isu-isu keamanan di kawasan. Dalam makalah ini, saya akan membahas mengenai masalah pertahanan dan 0020v bkeamanan karena masalah ini merupakan masalah yang sedang berkembang pada masa kini. Bisa kita mengambil contoh yaitu permasalahan yang berhubungan terorisme dimana di kawasan Asia Tenggara terorisme merupakan salah satu ancaman yang cukup serius bukan hanya untuk wilayah di Asia Tenggara saja namun untuk seluruh negara di dunia, bahkan sempat wilayah di asia tenggara diisukan menjadi salah satu base utama dalam jaringan terorisme internasional. Akibat dari permasalahan tersebut, ASEAN membentuk ARF sebagai salah satu solusi keamanan dan pertahanan di wilayah Asia Tenggara. Untuk lebih spesifiknya, saya akan membahas mengenai ARF di bab pembahasan.

PEMBAHASAN

Seperti yang telah dijelaskan diatas, penulis akan membahas mengenai isu keamanan dan pertahanan di Asia Tenggara. Isu yang akan saya bahas dimakalah ini adalah isu tentang terorisme dan upaya ASEAN dalam menyelesaikan tersebut adalah dengan didirikannya ARF, namun sebelum saya menjelaskan lebih jauh tentang ARF ini saya akan membahas sedikit tentang sejarah terorisme di wilayah Asia Tenggara dan sejarah mulai didirikannya ARF itu sendiri.

Terorisme merupakan isu yang sedang berkembang di Asia Tenggara, hal ini dapat dilihat dari sering terjadinya kasus-kasus seperti bom bunuh diri, pemberontakan dan tempat berkumpulnya teroris. Namun sebelum terjadinya isu terorisme, awal mula permasalah diwilayah Asia Tenggara adalah kejahatan lintas negara seperti pembajakan dan perdagangan senjata yang kemudian dimanfaatkan oleh para teroris tersebut untuk kepentingan kelompoknya. Setelah mulai seringnya terjadi masalah teroris di wilayah tersebut yang pada awalnya hanya mengancam suatu negara menjadi ancaman terhadap kawasan yang pada akhirnya menjadi isu internasional. Dunia internasional, mulai memberikan desakan terhadap ASEAN untuk menyelesaikan masalah tersebut, begitu pul dengan negara-negara di kawasan yang mulai merasakan dampak dari terorisme itu sendiri.

ASEAN Regional Forum ( ARF ) merupakan suatu forum yang dibentuk oleh ASEAN pada tahun 1994 sebagai suatu wahana bagi dialog dan konsultasi mengenai hal-hal yang terkait dengan politik dan keamanan dikawasan Asia Tenggara serta untuk membahas dan menyamakan pandangan antara negara-negara peserta ARF untuk memperkecil ancaman terhadap stabilitas dan keamanan kawasan. Dalam kaitan tersebut ASEAN merupakan penggerak utama dalam ARF. ARF merupakan satu-satunya forum dilevel pemerintahan yang dihadiri oleh seluruh negara-negara kuat dikawasan Asia Pasifik dan kawasan lain seperti Amerika Serikat, Republik Cina, Jepang, Rusia dan Uni Eropa. ARF menyepakati bahwa konsep keamanan ( Comprehensive Security ) tidak hanya mencakup aspek-aspek militer dan isu keamanan tradisional. Namun juga terkait dengan aspek politik, ekonomi, sosial dan isu lainnya seperti isu keamanan non Tradisonal.

Sampai pada saat ini peserta ARF berjumlah 25 negara yang terdiri atas seluruh negara anggota ASEAN ( Indoneisa, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Vietnam, Myanmar, Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina ), 10 negara mitra bicara ASEAN ( Amerika Serikat, Kanada, Cina, India, Jepang, Korea Selatan, Rusia, Selandia Baru dan Uni Eropa ) serta negara di kawasan seperti Papua Nugini, Mongolia, Korea Utara, Pakistan dan Timor Leste sementara Bangladesh direncanakan mejadi peserta pada pertemuan 13 ARF yang diselenggarakan di Kuala Lumpur pada bulan juli tahun 2006.

Sedangkan ARF memiliki tujuan yaitu mewujudkan tujuan ASEAN dalam menciptakan dan mejaga serta keharmonisan kawasan yang terdiri atas mengembangkan dialog dan konsultasi konstruktif mengenai isu-isu politik dan keamanan yang menjadi kepentingan dan perhatian bersama dan memberikan kontribusi positif dalam berbagai upaya untuk mewujudkan Confidence Building dan Preventive Diplomacy dikawasan Asia Pasifik. Meskipun ARF masih relatif baru, namun dia telah menjadi kontributor yang berharga bagi pemeliharaan harmoni dan stabilitas di kawasan Asia Pasifik. Kinerja ARF dilengkapi oleh aktifitas Second Track yang dilakukan oleh etnis non pemerintah dalam lingkup ARF. Partisipasi dan kerjasama yang aktif, penuh serta seimbang merupakan syarat mutlak bagi semua partisipan ARF dengan ASEAN merupakan penggerak utama bagi ARF.

Pendekatan yang dianut oleh ARF bersifat evolusioner dan berlangsung dalam tiga tahap besar yaitu Confidence Building, Preventive Diplomacy dan Conflict Resolution. Keputusan ARF harus diambil melalui suatu konsensus setelah melalui konsultasi yang mendalam antar peserta ARF. Untuk memastikan stabilitas yang lebih luas dan lebih terdata di kawasan para peserta ARF secara ekstensif membicarakan bukan hanya isu-isu kawasan namun juga isu internasional yang memiliki kepentingan bagi kawasan. ARF juga membahasa mengenai berbagai isu non tradisional termasuk terorisme, dan kejahatan lintas negara lainnya sepert perdagangan ilegal obat-obat terlarang dan narkotika, pedagangan ilegal manusia, penyelundupan.

Salah satu contoh kasus yang akan saya bahas disini adalah transisi dari permasalahan Terorisme ke permasalahan kejahatan lintas negara yaitu pembajakan di selat malaka yang diduga para pembajak merupakan salah satu faktor dalam pengumpulan dana untuk operasi jaringan terorisme. ARF memiliki agenda untuk menyelesaikan masalah pembajakan kapal laut atau disebut South East Maritime Terorism. Berbagai macam upaya telah dilakukan baik dari pemerintah negara pantai ( Indoneisa, Malaysia, Singapura ) atau dari organisasi dan dunia internasional. Pada akhirnya ARF yang merupakan wadah untuk menyelesaikan permasalah ini mencapai suatu keputusan bersama yaitu kerjasama dari negara pantai tersebut. Implementasi yang dilakukan adalah kerjasama dibidang militer khususnya angkatan laut dari ketiga negara tersebut untuk berpatroli dan sama-sama menjaga kawasan tersebut dari serangan para pembajak . Dengan adanya kerjasama ketiga negara tersebut membuktikan bahwa ASEAN dengan ARFnya dapat membentuk suatu kerjasama yang bukan terfokus dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya saja tetapi juga bekerja sama dalam bidang pertahanan dan keamanan kawasan.

KERANGKA PEMIKIRAN

Dalam konteks yang telah dibahas di bab sebelumnya, dapat dilihat bahwa yang menjadi isu utama adalah keamanan Non-tradisional dan peran aktor non negara dimana pokok permasalahan bertambat pada aktifitas organisasi internasional, kejahatan lintas negara, dan terorisme. Teori atau konsep yang dapat digunakan sebagai pisau analisa adalah “The Copenhagen School” yang diprakarsai oleh Barry Buzan, Ole Weaver dan Jaap de Wilde dimana mereka mencoba memasukkan aspek-aspek diluar hirauan tradisional kajian keamanan.

Kemudian dapat juga dimasukkan teori Human Security dimana didalamnya mencakup 7 dimensi keamanan yaitu keamanan ekonomi, keamanan pangan, keamanan kesehatan, keamanan lingkungan, keamanan individu, keamanan komunitas dan keamanan politik.Dengan adanya permasalahan yang semakin marak belakangan ini seperti aksi-aksi terorisme, bencana alam dan kejahatan lintas negara membuat kawasan di Asia tenggara secara khusus dan dunia internasional secara umum lebih memperhatikan keamanan manusia dan pada akhirnya menciptakan aktor baru diluar negara atau non-state actor yang berperan dalam bidang-bidang keamanan tradisional. Sebelum aktor internasional dapat duduk bersama untuk mencari solusi dari berbagai isu keamanan non tradisional dibutuhkan berbagai konsensus baru diantara mereka tentang berbagai macam agenda keamanan baru yang sering menjadi batu sandungan dalam berbagai interaksi bilateral, regional ataupun global. Hal ini didasari pada argumentasi bahwa keamanan regional ataupun global tidak hanya meliputi aspek militer ataupun negara tetapi juga menciptakan aktor non negara yang berperan dalam hal ini. Sebagai contoh adalah yang telah dibahas diatas bahwa ASEAN sebagai sebuah badan non negara yang memberikan kontribusi untuk memberikan solusi dan sekuritisasi dalam konteks permasalahan ini lewat badan yang memang khusus menangani isu keamanan yaitu ARF dengan melakukan diskusi melalui forum yang diadakan dan menghasikan agenda-agenda untuk menyelesaikan permasalahan ini seperti South East Asia Maritime terorism.

Sedangkan paradigma yang akan digunakan dalam makalah ini adalah paradigma neo-realisme dimana konsep keamanan yang diusung oleh neo-realisme bahwa selain negara, terdapat aktor non negara yang memperngaruhi aspek ini. Dalam permasalahan ini adalah aktor non-negara seperti kelompok teroris mulai beroperasi dan berinteraksi secara interdependen melampaui batas-batas tradisional negara. Namun untuk mencapai solusi atas konflik yang terjadi, Neo-realisme beranggapan bahwa masih ada kemungkinan untuk mengupayakan kerjasama internasional guna mencapai kepentingan keamanan nasional seperti yang telah dipaparkan diatas bagaimana negara-negara yang merupakan anggota dari ASEAN dan ARF melakukan kerjasama dalam bidang pertahanan dan keamanan guna mencapai kepentingan keamanan internasiona. Kerjasama dalam hal ini merujuk pada koordinasi kebijakan dari berbagai negara untuk mencapai stabilitas dan perdamaian internasional.

Kawasan Asia Tenggara merupakan kawasan yang rentan terjadi konflik-konflik baik internal atupun eksternal, salah satu faktornya adalah dikarenakan banyaknya negara-negara yang baru terbentuk di Asia Tenggara pasca perang dingin sehingga menimbulkan banyak resistensi dari kelompok-kelompok kepentingan sehingga memicu faktor terjadinya terorisme. Untuk menyelesaikan konflik dibutuhkan satu instrumen dalam melakukan kebijakan luar negeri oleh negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan instrumen yang paling tepat digunakan adalah Preventive Diplomacy seperti yang menjadi strategi ARF untuk menyelesaikan kasus terorisme yang terjadi di kawasan. Preventive Diplomacy itu sendiri adalah aksi diplomatik bersama dengan tujuan untuk mencegah konflik yang parah yang terjadi antar negara dan merupakan ancaman serius bagi keamanan dan stabilitas regional. Adapun metode diplomasi yang dapat dilakukan adalah diantaranya diplomasi diam-diam, persuasi, negosiasi, konsiliasi dan mediasi tanpa menyingkirkan prinsip kesamaan kedaulatan, kemerdekaan politik negara, integritas wilayah dan yang terpenting tetap berada dalam koridor non-intervensi.

KESIMPULAN

ASEAN dalam menghadapi globalisasi memang memiliki tanggung jawab dan beban yang cukup besar, hal ini dapat dilihat dari bagaimana kerjasama-kerjasama bilateral maupun regional yang diprakarsai oleh ASEAN mendapatkan kritik dari beberapa pihak, tetapi kinerja yang dihasilkan oleh ASEAN dapat dikatakan cukup membuktikan bahwa ASEAN konsisten terhadap visi dan misinya. Hal ini terimplementasikan dari badan-badan yang bernaung dibawah ASEAN yang membahas mengenai isu yang lebih spesifik seperti ARF yang telah kita bahas diatas. ARF sebagai forum yang membahas masalah keamanan memiliki hambatan yang cukup besar sebelum dapat memperoleh tujuan dasar pembentukannya, ini dikarenakan ARF hanyalah berupa forum yang tidak mempunyai badan insitusi secara nyata walaupun ARF memang memiliki struktur dan sistem sebagai suatu badan organisasi internasional yang bernaung di bawah ASEAN.

Banyak kritik yang mengatakan bahwa forum yang dibuat ARF untuk membahas isu-isu keamanan hanyalah sebatas retorika dan tidak ada bentuk nyata dari hasil yang dicapai oleh forum. Kembali dengan prinsip dasar ASEAN yaitu non intervensi membuat ARF maupun ASEAN sulit bergerak untuk mengimplementasikan tujuan-tujuannya. Hal inilah yang menjadi dasar permasalahan dalam kritik-krtik terhadap kinerja ASEAN yang selama ini dinilai kurang maksimal. Terjadi dilema dimana apabila ASEAN merevisi prinsip non intervensi maka hal ini akan bermasalah dengan kedaulatan suatu negara. Banyak yang beranggapan bahwa intervensi dari pihak asing dalam bentuk apapun sudah merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan karena negara memiliki hak untuk menentukan sendiri nasib bangsanya.

Walaupun demikian, ARF sebagai forum yang membahas mengenai isu keamanan memiliki peran instumental bagi penciptaan dan pengembangan transparansi, peningkatan kepercayaan dan pengertian sehingga dapat menghindarkan atau mengurangi rasa curiga dan salah pengertian antar negara anggota. Hal ini akan semakin meningkatkan perdamaian, keamanan dan stabilitas nasional maupun regional. Penguatan perdamaian dan keamanan kawasan akan memberikan lingkungan yang kondusif yang esensial bagi suksesnya pembangunan nasional di masing-masing negara peserta.. Hal ini pada akhirnya akan mendorong peningkatan kualitas masyarakat di kawasan khususnya Asia Tenggara.

Sedangkan secara lebih spesifik dapat dikatakan Indonesia mendapatkan beberapa keuntungan dari bergabungnya Indonesida dengan ARF, yaitu meliputi indonesia dapat mengembangkan profil internasionalnya melalu peran dan kepemimpinannya dalam ASEAN sebagai penggerak utam ARF, indonesia dapat menetapkan agenda dialog dan konsultasi ARF dengan pandangan untuk menjaga dan mengembangkan kepentingan nasionalnya di berbagai isu penting politik dan keamana, indonesiapun dapat mengarahkan diskusi untuk mejaga kepentinganya melaluli antara lain mencegah pembahasan isu-isu sensitif bagi kepentingan nasional, kemudian Indonesia dapat menggalang dukungan dari para peserta ARF bagi keutuhan dan kedaulatan teritorialnya, mendorong komitmen kawasan untuk mengembangkan kerjasama di berbagai isu yang menjadi perhatian besama sepert melawan teorisme dan kejahatan lintas negara lainnya dan yang terkahir Indonesia dapat memajukan budaya, toleransi dan dialog antara negara di kawasan Asia Pasifik.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Hermawan, P. Yulius (2007). Transformasi Dalam Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta : Graha Ilmu

Hadi, Shaummil (2008). Third Debate Dan Kritik Positivisme Hubungan Internasional. Yogyakarta dan Bandung : Jalasutra

Moertopo, Ali. Studi Wilayah. Jakarta : Badan Koordinasi Intelijen Negara

Internet

www.eastwestcenter.org/fileadmin/stored/pdfs/api045.pdf diakses pada tanggal 27 mei 2009 pukul 20.45 wib

http://ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik%20Luar%20Negeri/3)%20Keanggotaan%20Indonesia%20dalam%20Organisasi%20Internasional/1)%20ASEAN/Peranan%20Indonesia%20di%20ASEAN/ARF%20Indonesia.pdf diakses pada tanggal 27 mei 2009 pukul 21.00 wib

http://www.arf.or.id/id/download/report_cochair_meeting/%5BReport%5DCo-chair_Meeting%5B0107%5D.pdf diakses pada tanggal 28 mei 2009 pukul 7.30 wib

Jurnal

Journal South East Asian History. Special issue : Party System Of South East Asia Vol 8 no. 1 1967