Rabu, 09 September 2009

Pembajakan Selat Malaka dari Perspektif Teori Hubungan Internasional

Dalam disiplin ilmu Hubungan Internasional, terdapat beberapa teori yang digunakan sebagai pisau analisis untuk melihat suatu kasus atau konflik yang terjadi di suatu negara dengan harapan kita dapat memberikan argumen yang cukup valid untuk mencapai tujuan dalam upaya penyelesaian kasus tersebut. Penulis ingin memaparkan mengenai kasus pembajakan yang terjadi di selat Malaka dan mencoba menjelaskan dari perspektif teori Hubungan Internasional.
Pada pertengahan tahun 1990, sesaat sebelum terorisme menjadi agenda utama dari setiap negara-negara di dunia khususnya asia, isu pembajakan kapal atau sea robbery sudah menjadi ancaman bagi pembangunan dan keamanan kawasan. Hal ini terjadi dikarenakan dengan adanya pembajakan tersebut membuat lalu lintas perdagangan dunia yang sebagian besar masih menggunakan transportasi laut untuk memobilisasi barang-barang tersebut akan terhambat dan merugikan baik dari segi kestabilan ekonomi ataupun kestabilan politik suatu negara.
Dari keseluruhan 250 selat yang ada di dunia, Selat Malaka dikenal sebagai satu di antara 13 selat paling strategis dan bernilai komersial yang sangat tinggi di dunia.
Selat Malaka yang panjangnya 500 mil merupakan salah satu jalur pelayaran terpenting di dunia, sama pentingnya seperti Terusan Suez atau Terusan Panama. Selat Malaka membentuk jalur pelayaran terusan antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik serta menghubungkan tiga dari negara-negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia: India, Indonesia dan China. Sebanyak 50.000 kapal melintasi Selat Malaka setiap tahunnya, mengangkut antara seperlima dan seperempat perdagangan laut dunia. Sebanyak setengah dari minyak yang diangkut oleh kapal tanker melintasi selat ini; pada 2003, jumlah itu diperkirakan mencapai 11 juta barel minyak per hari, suatu jumlah yang dipastikan akan meningkat mengingat besarnya permintaan dari China . Oleh karena lebar Selat Malaka hanya 1,5 mil laut pada titik tersempit, yaitu Terusan Phillips di Selat Singapura, ia merupakan salah satu dari kemacetan lalu lintas terpenting di dunia.
Laporan mengenai aksi pembajakan kapal di dunia telah berangsur meningkat selama beberapa tahun terakhir ini. Pada tahun 2003 terdapat 445 kasus pembajakan di seluruh dunia dimana Indonesia mencatat 121 aksi pembajakan yang berarti lebih dari satu per empat total pembajakan yang terjadi di dunia dan disusul oleh Bangladesh yang mencapai angka 58 aksi pembajakan . Di selat Malaka sendiri, terdapat 28 kasus pembajakan yang terjadi tahun 2003. Selat Malaka merupakan daerah yang paling berbahaya dan paling di incar oleh para perompak karena daerah ini merupakan daerah pelayaran internasional dimana kapal-kapal yang melewati selat ini membawa banyak barang-barang berharga yang dapat dibajak oleh teroris dan dengan mudah dijual kembali dengan keuntungan yang besar di pasar gelap.
Selat Malaka adalah salah satu dari koridor maritim paling sibuk di dunia dengan sekitar 50.000 kapal kargo dan kapal tangki melewati perairan itu setiap tahun. Peningkatan pembajakan yang terjadi di selat malaka merupakan hasil dari jatuhnya perekonomian dan situasi politik di Indonesia pasca reformasi tahun 1998. Kemiskinan dan pengangguran membuat para perompak tergiur dengan hasil yang didapat dari pembajakan tersebut. Selain itu adanya aparat keamanan yang korup membuat para pembajak leluasa mendapat informasi mengenai jalur-jalur dan data barang yang dibawa oleh kapal kargo .
Semua faktor tersebut menyebabkan kawasan itu menjadi sebuah target pembajakan dan kemungkinan target terorisme. Pembajakan di Selat Malaka menjadi masalah yang mendalam akhir-akhir ini ditambah lagi dengan adanya keinginan intervensi dari Amerika yaitu AS mengaku sangat khawatir dan prihatin atas maraknya pembajakan dan perompakan yang terjadi di perairan tersebut. Karena itu bisa membuka peluang terjadinya serangan-serangan teroris khususnya terhadap kapal-kapal perdagangan dan kepentingan Amerika
apalagi, posisi Selat Malaka sangat strategis dan termasuk selat yang tersibuk di dunia.

Dalam kasus pembajakan di Selat Malaka, yang menjadi faktor utama pemicunya adalah ekonomi dimana Indonesia terpuruk dengan adanya krisis moneter yang mengakibatkan melonjaknya angka kemiskinan dan pengangguran sehingga banyak dari masyarakat Indonesia yang mengambil jalan pintas dengan cara ikut dalam sindikat-sindikat perompak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang kian terpuruk. Selain faktor pendukung lain adalah dari internal pemerintah Indonesia sendiri yang kurang aktif dalam menanggapi permasalahan tersebut. Hal inipun didasari dari lemahnya kekuatan angkatan laut dan dukungan politik untuk menyelesaikan masalah ini.
Angkatan laut Indonesia tergolong miskin dimana armada-armadanya tidak didukung oleh fasilitas persenjataan yang canggih dan lengkap sehingga tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk memerangi perompak yang berkeliaran di teritori Indonesia khususnya Selat Malaka. Pemerintah indonesia mempunyai program untuk membentuk penjaga perbatasan laut tetapi tidak mempunyai dana untuk itu dan juga angkatan laut mengakui bahwa armada-armadanya tidak memenuhi standar untuk mengatasi permasalahan ini.
Dari permasalah ini, dapat dilihat bahwa aktor-aktor yang bermain di tingkat pemerintah adalah negara pantai itu sendiri yaitu Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Sedangkan untuk Internasionalnya terdapat Amerika dimana beberapa waktu yang lalu Amerika ingin mengintervensi dengan cara membuat pangkalan laut di Selat Malaka yang disetujui oleh Singapura tetapi ditolak Indonesia berkenaan dengan permasalahan kedaulatan yang di intervensi oleh Amerika itu sendiri. Dari segi organisasinya ada ASEAN yang dapat dilihat dengan keterlibatannya melalui forum-forum seperti ASEAN Regional Forum yang secara spesifik membahas mengenai keamanan kawasan dan didalamnya terdapat agenda mengenai penyelesaian masalah kejahatan maritim. Terakhir adalah aktor dari perompak itu sendiri yang dapat diidentifikasikan sebagai warga negara Indonesia yang terlibat sindikat kejahatan maritim dimana disinyalir berasal dari Nangroe Aceh Darussalam karena gagalnya negosiasi damai dengan Aceh pada tahun 2003 yang berujung pada operasi militer. Karena hal ini, dari pihak GAM pun membutuhkan dukungan finansial dengan cara perampokan tersebut.
Berbagai macam upaya telah dilakukan baik dari pemerintah negara pantai (Indonesia, Malaysia, dan Singapura) atau dari organisasi dan dunia internasional. Dari pemerintah Indonesia sendiri telah melakukan kerjasama bilateral seperti dengan singapura dimana Indonesia pada tahun 1992 melakukan kerjasama komunikasi langsung antara angkatan lautnya untuk menjaga perbatasan negaranya. Kemudian beberapa prestasi operasi yang telah dicapai antara lain penggagalan pembajakan MT Selayang pada tahun 2001, yang dibajak saat tolak dari Pelabuhan Port Dickson di Malaysia. Berkat kerja sama yang baik antara aparat keamanan laut dari Malaysia (TLDM, Marpol, IMB), Singapura (Coscom, RSN), serta dari Indonesia (Guskamla Armabar dan Armatim), akhirnya MT Selayang dapat dilacak dan disergap di Selat Makassar oleh aparat Kamla Lanal Balikpapan .
Dari organisasi internasional kita dapat melihat ASEAN dalam Asean Regional Forum dimana ARF dan dari dunia internasional kita dapat melihat Amerika yang ingin membuat pangkalan militer di selat malaka untuk mengamankan kapal-kapal cargo yang melintasi daerah itu dan juga Australia mengungkapkan minatnya untuk membantu negara-negara Asia Tenggara melakukan patroli udara di Selat Malaka, jalur laut tersibuk di Asia. Pemimpin Angkatan Laut Australia Russ Shalders menyampaikan tawaran itu ketika Australia, Selandia Baru, Inggris, Malaysia dan Singapura sedang latihan perang tahunan pada September 2005 di Laut Cina Selatan dan di semenanjung Malaysia.
Kita juga perlu mendalami karakter dan hakikat perompak di Selat Malaka, yang berdasarkan penyelidikan di lapangan diketahui bahwa motivasi untuk merompak lebih didasari oleh faktor ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sangat berbeda dengan terorisme yang diperangi oleh AS, yaitu kelompok radikal yang berbasis ideologi. Karenanya, perlu dipertanyakan lagi bila masih ada kekhawatiran AS atas kerawanan di Selat Malaka sehingga perlu mengirim kekuatan militernya. Kehadiran militer asing justru berpotensi menimbulkan masalah baru, berupa munculnya penolakan dari kelompok yang menentang kehadiran kekuatan militer asing di Selat Malaka.
Pembajakan yang terjadi di selat malaka dapat dikaitkan dengan kenyataan bahwa pemerintah telah gagal dalam memenuhi kebutuhan dasar kemanusiaan sehingga terjadi kemiskinan dan pengangguran yang akhirnya menyebabkan konflik tersebut timbul. Sedangkan, karakteristik dari pemerintahan itu sendiri yang pada saat itu (1998) bersifat otoriter dan mengabaikan aspirasi dari akar rumput. Hal ini menyebabkan hak-hak sipil dan politik dari etnis aceh terabaikan dan mereka memendam rasa tidak puas dan frustasi yang mendalam.
Kelompok pra-kondisi yang berkaitan dengan “International Linkages” yaitu sistem ketergantungan yang terjadi antara suatu negara dengan sistem ekonomi global dimana pemerintah mengeluarkan kebijakan yang lebih memihak pada kekuatan modal asing daripada kepentingan penduduk lokal. Hal ini menjadi salah satu faktor yang memicu masyarakat untuk beralih ke sindikat kejahatan maritim dilandaskan adanya rasa sakit hati terhadap pemerintah pusat yang mengabaikan eksistensi mereka.